Jejak Kasih di Tanah Nusantara: 5 Kisah Romansa Abadi

Arv
By -

 Dari keagungan Borobudur hingga bisikan ombak di Pantai Pink, dari heningnya puncak Semeru hingga melodi syahdu Ubud, serta gemerlap masa lalu di Kota Tua Jakarta, Nusantara menyimpan jutaan kisah cinta yang tak terlukiskan indahnya. Inilah lima cerita romantis yang merangkum pesona percintaan dua hati yang saling terpaut, di mana setiap momen adalah puisi, setiap sentuhan adalah janji, dan setiap latar belakang alam serta budaya Indonesia menjadi saksi bisu kemesraan yang tak terlupakan. Mari kita selami lebih dalam jejak-jejak kasih yang terukir abadi di tanah pertiwi, di mana romansa bersemi, penuh gairah, dan tak lekang oleh waktu.

1. Senja di Borobudur: Simfoni Cinta Abadi



Langit senja di atas Borobudur adalah kanvas agung yang selalu berhasil membius siapa pun yang memandangnya. Hari itu, nuansanya lebih spesial bagi Rama dan Sinta. Jingga, ungu, dan merah bercampur aduk, seolah melukiskan perjalanan cinta mereka yang penuh warna. Rama, dengan paras tampan dan senyum yang selalu menghangatkan hati Sinta, menggenggam erat jemari kekasihnya. Kehangatan kulit Sinta menjalar ke seluruh tubuh Rama, membisikkan janji-janji tak terucap.

"Indah sekali, ya, Mas?" bisik Sinta, menyandarkan kepalanya di bahu tegap Rama. Aroma melati yang selalu ia pakai membuai indra Rama, membangkitkan kenangan pertemuan pertama mereka. Dulu, Sinta adalah seorang seniman muda yang berpartisipasi dalam pameran di Yogyakarta, dan Rama adalah seorang fotografer perjalanan yang sedang mencari inspirasi. Mata mereka bertemu di antara keramaian, dan sejak saat itu, dunia Rama tak pernah sama. Ia menemukan muse terindahnya, bukan hanya untuk karyanya, tetapi juga untuk hidupnya.

Mereka melangkah perlahan di antara stupa-stupa batu, napas mereka berirama dengan semilir angin sore. Setiap langkah adalah memori, setiap sentuhan adalah janji. Rama ingat bagaimana Sinta selalu mendukungnya, bahkan ketika ia ragu pada kemampuannya sendiri. Ia ingat tawa renyah Sinta yang mampu melunturkan segala kekhawatiran. Ia ingat mata Sinta yang selalu memancarkan cinta tulus, tak pernah pudar.

"Tidak seindah dirimu, Cintaku," balas Rama, suaranya lembut, penuh getaran kasih. Ia menoleh, menatap dalam-dalam bola mata hitam Sinta yang memancarkan kecerdasan dan kelembutan. Di mata itu, Rama melihat masa depan mereka terpampang jelas, cerah dan penuh kebahagiaan. Sinta tersenyum, pipinya merona merah muda. Perkataan sederhana Rama selalu mampu membuatnya merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia.

Mereka mencapai puncak Borobudur, di mana pemandangan terhampar luas sejauh mata memandang. Gunung-gunung menjulang gagah di kejauhan, hutan-hutan menghijau pekat, dan di bawah mereka, ratusan stupa berdiri kokoh, saksi bisu peradaban yang telah berabad-abad. Rama berlutut di hadapan Sinta, gerakan yang tak terduga namun terasa begitu alami.

Jantung Sinta berdebar kencang, firasat membisikkan sesuatu yang besar akan terjadi. Mata Rama bersinar, penuh tekad dan cinta yang tak tergoyahkan. Ia mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil dari saku celananya. Di dalamnya, terpampang cincin sederhana namun elegan, bertahtakan batu permata yang berkilauan.

"Sinta Ayu Lestari," Rama memulai, suaranya sedikit bergetar karena haru. "Sejak pertama kali aku melihatmu, duniaku berubah. Kau adalah inspirasiku, kekasihku, sahabatku, dan belahan jiwaku. Setiap hari bersamamu adalah anugerah. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu, membangun rumah tangga, berbagi tawa dan air mata, menua bersama. Maukah kau menjadi istriku?"

Sinta menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya berkaca-kaca. Air mata kebahagiaan membanjiri pipinya. Ia tidak pernah membayangkan momen seindah ini, di tempat yang begitu sakral, di hadapan laki-laki yang dicintainya sepenuh hati. Semua kenangan pahit di masa lalu seolah sirna, digantikan oleh kebahagiaan yang meluap-luap. Ia melihat ketulusan di mata Rama, janji setia yang terpancar dari setiap tarikan napasnya.

"Ya, Mas! Ya, aku mau!" jawab Sinta, suaranya parau karena tangis haru. Ia mengulurkan tangannya yang gemetar, membiarkan Rama menyematkan cincin itu di jari manisnya. Ukurannya pas, seolah memang diciptakan untuknya. Cincin itu berkilau indah, merefleksikan cahaya senja yang memudar.

Rama bangkit, memeluk Sinta erat. Pelukan itu adalah rumah, adalah janji, adalah segalanya. Ia mencium kening Sinta lama, lalu turun ke bibirnya. Ciuman itu adalah ciuman janji, ciuman masa depan, ciuman yang mengikat dua jiwa menjadi satu. Di bawah langit Borobudur yang kini dihiasi bintang-bintang yang mulai bermunculan, Rama dan Sinta berbagi momen paling romantis dalam hidup mereka.

Mereka duduk bersisian, menikmati keheningan malam yang mulai menyelimuti candi. Sinta menyandarkan kepalanya di bahu Rama, jemari mereka bertautan. Ia menatap cincin yang melingkar indah di jarinya, sebuah simbol cinta yang tak akan pernah pudar. Rama memeluk Sinta, menikmati kehangatan tubuh kekasihnya. Ia tahu, petualangan cinta mereka baru saja dimulai, dan ia tak sabar untuk menjalaninya bersama Sinta, sampai akhir hayat.

Cinta mereka, seperti Borobudur, akan berdiri kokoh, megah, dan abadi. Setiap senja yang datang akan menjadi saksi bisu betapa cinta mereka terus bertumbuh, seiring waktu, seiring usia. Dan di setiap malam, bintang-bintang akan menjadi penerang, membimbing langkah mereka menuju kebahagiaan yang tak terbatas.

2. Pelukan Hangat di Kaki Semeru: Titik Balik Kasih

Udara di kaki Semeru menusuk tulang, tetapi Arka dan Lara tak merasakannya. Kehangatan yang terpancar dari cinta mereka mampu mengusir dingin yang menggigit. Di dalam tenda mungil yang mereka dirikan, di bawah jutaan bintang yang bertaburan, mereka berbagi keheningan yang penuh makna. Arka, dengan wajah tampan yang selalu memancarkan ketenangan, mengusap lembut lengan Lara yang menggigil. "Masih dingin, sayang?" tanyanya, suaranya berat namun lembut.

Lara menggeleng, "Tidak, jika kau ada di sampingku." Ia mengeratkan pelukannya pada Arka, membenamkan wajahnya di dada bidang kekasihnya. Aroma Arka, perpaduan mint dan tanah basah, adalah aroma favoritnya, selalu berhasil menenangkannya. Mereka telah melalui perjalanan panjang untuk mencapai titik ini, bukan hanya perjalanan fisik mendaki gunung, tetapi juga perjalanan hati yang penuh liku.

Arka dan Lara bertemu di sebuah kegiatan bakti sosial di pelosok desa. Arka adalah seorang dokter muda yang idealis, dan Lara adalah relawan dari sebuah organisasi lingkungan. Awalnya, mereka sering berdebat karena perbedaan pandangan, namun justru dari perdebatan itulah benih-benih ketertarikan mulai tumbuh. Arka terpesona oleh keberanian dan kepedulian Lara, sementara Lara jatuh hati pada ketulusan dan kebaikan hati Arka.

Mereka berbicara hingga larut malam, berbagi cerita tentang masa lalu, mimpi masa depan, dan ketakutan terdalam mereka. Arka bercerita tentang tekanan pekerjaan yang sering membuatnya lelah, tentang harapannya untuk bisa membantu lebih banyak orang. Lara berbagi tentang kecintaannya pada alam, tentang keinginannya untuk melestarikan keindahan bumi. Arka mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengusap rambut Lara lembut.

"Aku kadang merasa sendiri, Arka," bisik Lara, suaranya sedikit parau. "Seperti aku berjuang sendirian untuk sesuatu yang besar."

Arka memeluknya lebih erat. "Kau tidak sendirian, Lara. Ada aku. Dan aku akan selalu ada untukmu, mendukung setiap langkahmu." Ia mengecup kening Lara. "Kau adalah salah satu wanita paling kuat yang pernah kutemui. Jangan pernah meragukan itu."

Kata-kata Arka menembus hati Lara. Selama ini, ia memang sering merasa memikul beban sendirian. Namun, dengan Arka di sisinya, bebannya terasa lebih ringan. Ia merasa dicintai, dipahami, dan dihargai. Romansa mereka bukan hanya tentang bunga dan cokelat, tetapi tentang dukungan, kepercayaan, dan penerimaan tanpa syarat.

Keesokan paginya, mereka bangun sebelum fajar. Tujuan mereka adalah menyaksikan matahari terbit dari puncak, sebuah janji yang mereka buat berbulan-bulan lalu. Dengan perlengkapan seadanya dan semangat membara, mereka memulai pendakian terakhir. Jalan setapak semakin curam, udara semakin tipis, namun mereka tak menyerah.

Ketika mereka hampir mencapai puncak, tiba-tiba Lara terpeleset. Kakinya terkilir parah, dan rasa sakit yang menusuk membuat lututnya lemas. Arka segera menangkapnya, menahannya agar tidak jatuh lebih jauh. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.

"Kau tidak apa-apa, sayang?" tanya Arka panik. Ia memeriksa kaki Lara dengan cermat. "Sepertinya terkilir. Kita harus turun."

Lara menggeleng, air mata menggenang di matanya. "Tidak, Arka. Kita sudah hampir sampai. Aku ingin melihat matahari terbit bersamamu."

Arka menatap mata Lara yang penuh tekad. Ia tahu betapa pentingnya momen ini bagi kekasihnya. Tanpa ragu, ia membungkuk. "Naiklah ke punggungku, Lara. Aku akan menggendongmu."

Lara terkejut. "Tapi, Arka... ini jauh sekali. Kau akan kelelahan."

"Tidak ada yang akan menghentikan kita, Lara," kata Arka tegas, namun dengan senyum menenangkan. "Aku akan menggendongmu sampai ke puncak, jika itu yang kau inginkan. Demi kita."

Lara naik ke punggung Arka, memeluk lehernya erat. Setiap langkah Arka adalah perjuangan, namun ia tak sedikit pun mengeluh. Ia bisa merasakan otot-otot Arka yang menegang, napasnya yang memburu, tetapi Arka terus melangkah, tegar dan pantang menyerah. Di punggung Arka, Lara merasa aman, dicintai, dan tak terbatas.

Akhirnya, mereka mencapai puncak. Matahari mulai muncul di ufuk timur, memancarkan cahaya keemasan yang menembus kabut. Pemandangan itu sungguh luar biasa, seolah alam semesta merayakan cinta mereka. Arka menurunkan Lara perlahan. Mereka duduk bersisian, saling berpegangan tangan, menyaksikan keindahan yang tak terlukiskan.

Arka menoleh ke arah Lara, matanya dipenuhi cinta. "Ini adalah momen paling indah dalam hidupku, Lara. Bersamamu."

Lara tersenyum, air mata haru kembali menetes. "Terima kasih, Arka. Kau adalah pahlawanku."

Arka mengusap air mata Lara dengan ibu jarinya. "Kau adalah duniaku, Lara." Ia mendekatkan wajahnya, lalu mengecup bibir Lara. Ciuman itu dalam, penuh makna, janji setia yang terukir di puncak gunung. Mereka tahu, cinta mereka telah mencapai titik balik, sebuah klimaks yang akan mengikat mereka selamanya. Di tengah keheningan Semeru yang megah, di bawah langit yang baru saja terbangun, Arka dan Lara bersumpah untuk saling mencintai, selamanya. Pelukan hangat Arka bukan hanya fisik, tetapi juga pelukan jiwa yang abadi.

3. Melodi Cinta di Ubud: Harmoni Dua Hati

Ubud selalu memiliki magisnya tersendiri. Sawah-sawah hijau yang membentang luas, alunan gamelan yang sayup-sayup, dan aroma dupa yang menenangkan, menciptakan atmosfer romantis yang sempurna bagi Bima dan Kirana. Bima, seorang komposer musik klasik dengan paras rupawan, berjalan anggun di samping Kirana, seorang penari tradisional yang mempesona. Kirana dalam balutan kebaya modern dengan motif bunga kamboja, terlihat begitu serasi dengan latar belakang alam Bali yang asri.

"Kau seperti bidadari, Kirana," puji Bima, matanya tak lepas dari sosok kekasihnya. Pujian itu tulus, datang dari hati seorang seniman yang selalu menghargai keindahan. Kirana tersipu, pipinya merona merah muda. Ia selalu merasa istimewa di samping Bima, seorang pria yang memahami jiwanya, yang berbicara bahasa musik yang sama dengannya.

Mereka bertemu di sebuah pertunjukan seni di Bali. Bima tertarik pada gerakan anggun Kirana saat menari, sementara Kirana terpukau oleh melodi piano yang dimainkan Bima, yang mampu menyentuh relung hatinya. Mereka menemukan kesamaan dalam seni, dalam gairah, dan dalam keinginan untuk menciptakan sesuatu yang indah.

Mereka berhenti di sebuah gubuk kecil di tepi sawah, tempat yang sering mereka kunjungi untuk mencari inspirasi. Bima mengeluarkan seruling bambu kesayangannya. Seruling itu adalah hadiah dari ayahnya, dan selalu menemaninya di mana pun ia pergi. Ia mulai memainkan melodi yang pernah ia ciptakan khusus untuk Kirana. Alunan nada itu lembut, mengalun indah, menggambarkan perasaan cinta yang mendalam.

Kirana menutup matanya, membiarkan melodi itu meresap ke dalam jiwanya. Ia bisa merasakan setiap nada, setiap emosi yang Bima tuangkan ke dalam musiknya. Melodi itu adalah cerita mereka, dari pertemuan pertama yang canggung, tawa riang saat berkencan, hingga momen-momen sulit yang berhasil mereka lewati bersama. Di setiap nada, Kirana mendengar janji, harapan, dan cinta yang tak terbatas.

Ketika melodi berakhir, keheningan menyelimuti mereka. Kirana membuka matanya, menatap Bima dengan mata berkaca-kaca. "Indah sekali, Mas," bisiknya, suaranya parau karena haru.

Bima tersenyum, tangannya meraih jemari Kirana, mengusapnya lembut. "Itu melodi hati kita, Kirana. Melodi cinta yang tak akan pernah berakhir." Ia mendekatkan wajahnya. "Dan aku ingin melodi ini terus mengalun seumur hidupku, bersamamu."

Tiba-tiba, Bima mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Kotak itu terbuat dari kayu ukir khas Bali, sangat indah. Kirana menatapnya dengan jantung berdebar. Bima membuka kotak itu, dan di dalamnya, terbaring sebuah kalung perak dengan liontin berbentuk not balok. Not balok itu dihiasi dengan permata kecil yang berkilauan, membentuk inisial 'B' dan 'K'.

"Kirana Paramitha," Bima memulai, suaranya mantap. "Kau adalah harmoni terindah dalam hidupku. Setiap tarianmu adalah inspirasiku, setiap senyummu adalah melodiku. Aku ingin melengkapi harmoni ini denganmu, selamanya. Maukah kau menjadi pasangan hidupku, teman sejatiku, dan ibu dari anak-anakku?"

Kirana tak bisa menahan air matanya. Ia mengangguk berkali-kali, air mata kebahagiaan membanjiri pipinya. "Ya, Mas! Aku mau! Aku sangat mau!"

Bima mengambil kalung itu, lalu menyematkannya di leher Kirana. Liontin not balok itu jatuh tepat di antara tulang selangka Kirana, berkilau indah. Itu bukan sekadar perhiasan, melainkan simbol ikatan dua jiwa yang mencintai seni dan satu sama lain.

Bima memeluk Kirana erat, pelukan yang terasa seperti rumah. Ia mencium kening Kirana, lalu turun ke bibirnya. Ciuman itu dalam, penuh gairah, dan di dalamnya terkandung janji seumur hidup. Kirana membalas ciuman Bima dengan seluruh perasaannya. Di bawah langit senja Ubud yang mulai berubah menjadi ungu, dikelilingi oleh bisikan angin di antara dedaunan, mereka tahu bahwa cinta mereka telah mencapai klimaks terindah, sebuah simfoni yang akan terus mengalun selamanya.

Mereka berdua duduk di tepi sawah, Bima merangkul Kirana. Ia mulai memainkan melodi lain di serulingnya, melodi yang lebih ceria, lebih penuh harapan. Kirana menyandarkan kepalanya di bahu Bima, mendengarkan setiap nada. Di sana, di tengah keasrian Ubud, mereka berjanji untuk terus menciptakan melodi cinta mereka, hari demi hari, tahun demi tahun, hingga akhir hayat. Harmoni dua hati yang tak akan pernah terpisahkan.

4. Bisikan Ombak di Pantai Pink: Janji Abadi di Ufuk Senja

Pantai Pink di Lombok adalah keajaiban alam yang langka. Pasir berwarna merah muda, berpadu dengan air laut biru kehijauan, menciptakan pemandangan surealis yang tak terlupakan. Bagi Aryo dan Dewi, tempat ini bukan hanya indah, tetapi juga saksi bisu perjalanan cinta mereka yang luar biasa. Aryo, seorang pengusaha muda yang tampan dan sukses, selalu berhasil membuat Dewi, seorang desainer grafis yang cantik dan cerdas, merasa spesial.

Mereka berjalan beriringan di tepi pantai, kaki mereka sesekali terendam deburan ombak lembut. Pasir merah muda terasa hangat di bawah telapak kaki. Aryo menggenggam erat tangan Dewi, merasakan kehalusan kulit kekasihnya. "Aku ingin selamanya seperti ini, denganmu," bisiknya di telinga Dewi, suaranya sedikit tenggelam oleh deru ombak yang membuai.

Dewi menoleh, senyum manis menghiasi bibirnya. Mata cokelatnya memancarkan kebahagiaan yang tak terhingga. "Aku juga, Aryo," jawabnya, suaranya lembut. Mereka bertemu di sebuah acara charity di Jakarta. Aryo terpesona oleh kecerdasan Dewi yang mampu mengutarakan ide-ide cemerlang, sementara Dewi terpikat oleh kharisma dan kebaikan hati Aryo. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan.

Mereka berdua duduk di atas pasir, menghadap ke laut lepas. Matahari mulai condong ke barat, melukis langit dengan gradasi warna oranye, merah, dan ungu yang memukau. Aryo memeluk Dewi dari belakang, dagunya bersandar di puncak kepala Dewi. Aroma laut bercampur dengan aroma parfum Dewi, menciptakan perpaduan romantis yang tak terlupakan.

"Kau tahu," kata Aryo, suaranya berat, "aku tidak pernah membayangkan akan menemukan seseorang sepertimu, Dewi. Kau membuat hidupku lebih berwarna, lebih bermakna."

Dewi menyandarkan tubuhnya pada Aryo, menikmati kehangatan pelukannya. "Kau juga, Aryo. Kau adalah tempatku pulang, tempatku merasa aman."

Mereka terdiam sejenak, menikmati keindahan senja yang memudar. Deburan ombak seolah menjadi melodi pengiring kisah cinta mereka. Aryo memutar tubuh Dewi agar menghadapnya. Ia menatap dalam-dalam mata Dewi, mata yang selalu mampu meneduhkan hatinya.

"Dewi Kusuma," Aryo memulai, suaranya penuh getaran. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya. Kotak itu terbuat dari kayu jati, diukir dengan detail ombak yang melingkar. Aryo membuka kotak itu, dan di dalamnya, terbaring sebuah cincin berlian yang berkilau indah, memantulkan cahaya senja.

"Sejak pertama kali kita bertemu, aku tahu kau adalah wanita yang kutunggu. Setiap hari bersamamu adalah petualangan. Aku ingin petualangan ini tak pernah berakhir. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu, membangun keluarga, menua bersama di setiap pantai indah di dunia ini. Maukah kau menjadi istriku?"

Mata Dewi membelalak, air mata kebahagiaan langsung membanjiri pipinya. Ia tak bisa berkata-kata. Ini adalah momen yang ia impikan, namun tak pernah ia sangka akan seindah ini. Di bawah langit yang diwarnai pesona senja, di tepi Pantai Pink yang magis, laki-laki yang dicintainya bersujud di hadapannya.

"Ya, Aryo! Ya, aku mau!" jawab Dewi, suaranya tercekat. Ia mengulurkan tangannya yang gemetar, membiarkan Aryo menyematkan cincin itu di jari manisnya. Berlian itu berkilau, seolah memancarkan kebahagiaan yang sama dengan hatinya.

Aryo bangkit, memeluk Dewi erat. Pelukan itu adalah janji, adalah sumpah, adalah segalanya. Ia mencium kening Dewi, lalu turun ke bibirnya. Ciuman itu dalam, penuh gairah, dan di dalamnya terkandung janji abadi. Dewi membalas ciuman Aryo dengan seluruh perasaannya, seolah ingin menyalurkan seluruh cintanya.

Mereka duduk kembali di tepi pantai, berpelukan erat. Matahari telah tenggelam sepenuhnya, menyisakan bias merah di ufuk barat. Bintang-bintang mulai bermunculan, menjadi saksi bisu janji suci mereka. Aryo menyandarkan kepala Dewi di dadanya, mengusap rambutnya perlahan.

"Aku mencintaimu, Dewi," bisik Aryo.

"Aku juga mencintaimu, Aryo," jawab Dewi, suaranya lembut.

Di bawah bisikan ombak yang tak henti, di bawah langit yang kini dihiasi jutaan bintang, Aryo dan Dewi tahu bahwa cinta mereka telah mencapai klimaks terindah. Sebuah janji abadi yang terukir di Pantai Pink, seindah pasirnya, sekuat ombaknya, dan selamanya akan menjadi bagian dari kisah romantis mereka.

5. Pesona Malam di Kota Tua Jakarta: Kisah Cinta yang Terukir Waktu

Malam di Kota Tua Jakarta selalu memiliki pesona tersendiri. Cahaya temaram lampu-lampu kuno membanjiri jalanan batu, menciptakan atmosfer romantis yang membawa siapa pun kembali ke masa lalu. Bagi Langit dan Mentari, sepasang kekasih yang saling mencintai dengan sepenuh hati, malam ini adalah puncak dari perjalanan cinta mereka. Langit, seorang arsitek muda dengan paras tampan dan selera busana yang modis, berjalan beriringan dengan Mentari, seorang kurator seni yang anggun dan berwawasan luas. Mentari malam ini mengenakan dress panjang berwarna hijau emerald yang kontras dengan bangunan-bangunan tua di sekelilingnya, namun sangat serasi dengan pesonanya.

"Rasanya seperti kembali ke masa lalu, ya, Mas?" ujar Mentari, matanya berbinar melihat megahnya bangunan-bangunan bersejarah yang berdiri kokoh. Ia selalu punya ketertarikan mendalam pada sejarah dan seni, dua hal yang ia temukan juga pada diri Langit.

Langit tersenyum, tangannya menggenggam erat jemari Mentari. "Mungkin memang kita berasal dari masa lalu, Sayang. Lalu bertemu kembali di sini." Mereka bertemu di sebuah seminar arsitektur dan seni, di mana perdebatan cerdas mereka tentang estetika kuno dan modern justru menjadi awal dari romansa yang indah. Langit terpesona oleh kecerdasan dan keanggunan Mentari, sementara Mentari terpikat oleh wawasan dan ketulusan hati Langit.

Mereka menyusuri setiap sudut Kota Tua, berhenti di depan Museum Fatahillah yang megah. Langit menatap Mentari, pandangannya penuh puja. Dalam benaknya, Mentari adalah mahakarya terindah yang pernah ia lihat. Rambutnya yang panjang tergerai, pipinya yang merona, dan mata yang selalu memancarkan semangat.

"Kau tahu, Mentari," Langit memulai, suaranya pelan, "aku tidak pernah berpikir bisa menemukan seseorang yang begitu cocok denganku, dalam segala hal. Kau adalah inspirasiku, semangatku, duniaku." Ia menyelipkan sehelai bunga melati yang ia beli dari seorang pedagang kecil ke rambut Mentari, tepat di atas telinga. Aroma melati yang harum langsung menyebar.

Mentari tersipu, tawanya renyah. "Mas juga begitu, Mas. Kau adalah bagian terbaik dari diriku."

Langit kemudian meraih pinggang Mentari, menariknya mendekat hingga tubuh mereka bersentuhan. Degup jantung Mentari berpacu kencang. Ia tahu, ada sesuatu yang berbeda malam ini. Langit menatap dalam-dalam mata Mentari, matanya memancarkan ketulusan dan cinta yang mendalam.

"Mentari Kusuma Dewi," Langit memulai, suaranya sedikit bergetar karena haru. "Kau adalah wanita paling luar biasa yang pernah ku kenal. Kau melengkapi kekuranganku, mengajarkan aku banyak hal, dan membuatku menjadi pribadi yang lebih baik. Aku ingin setiap pagi terbangun di sampingmu, setiap malam tidur dalam pelukanmu. Aku ingin menua bersamamu, melihat anak-anak kita tumbuh dewasa, dan terus menciptakan kenangan indah bersama."

Langit kemudian berlutut di hadapan Mentari, gerakan yang anggun dan penuh makna. Dari saku jasnya, ia mengeluarkan sebuah kotak beludru hitam. Ia membukanya, dan di dalamnya, terpampang cincin platinum dengan berlian tunggal yang berkilau terang, memantulkan cahaya lampu-lampu Kota Tua.

"Maukah kau menghabiskan sisa hidupmu bersamaku? Maukah kau menjadi istriku?" tanya Langit, suaranya penuh harap.

Mentari menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya berkaca-kaca. Air mata kebahagiaan membanjiri pipinya. Ia tidak pernah membayangkan momen lamaran akan seindah dan seromantis ini, di tempat yang penuh sejarah, di bawah gemerlap lampu malam, dan di hadapan laki-laki yang ia cintai lebih dari apa pun. Semua keraguan, semua ketakutan di masa lalu, seolah lenyap seketika, digantikan oleh keyakinan yang tak tergoyahkan.

"Ya, Mas! Ya, aku mau!" jawab Mentari, suaranya parau karena tangis haru. Ia mengulurkan tangannya yang gemetar, membiarkan Langit menyematkan cincin itu di jari manisnya. Cincin itu berkilau indah, seolah menjadi bagian dari dirinya.

Langit bangkit, memeluk Mentari erat. Pelukan itu adalah pelukan yang ia impikan, pelukan yang menjanjikan masa depan. Ia mencium kening Mentari lama, lalu turun ke bibirnya. Ciuman itu dalam, penuh gairah, dan di dalamnya terkandung janji seumur hidup. Mentari membalas ciuman Langit dengan seluruh perasaannya, seolah ingin menyalurkan seluruh cintanya.

Mereka berdua berdiri di sana, di depan Museum Fatahillah, berpelukan di bawah temaram cahaya lampu. Langit mengusap lembut rambut Mentari. Ia tahu, kisah cinta mereka telah mencapai klimaks yang paling indah, sebuah babak baru yang akan membawa mereka pada petualangan yang lebih besar.

"Aku mencintaimu, Mentari," bisik Langit, suaranya penuh kelembutan.

"Aku juga mencintaimu, Langit," jawab Mentari.

Di antara jejak sejarah yang membisu, di bawah pesona malam Kota Tua yang magis, Langit dan Mentari mengukir janji suci mereka. Cinta mereka, seperti Kota Tua itu sendiri, akan abadi, terukir dalam waktu, dan akan terus menjadi kisah romantis yang tak akan pernah terlupakan.

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Out
Ok, Go it!